The Little Prince: Melihat Dunia Dari Sudut Pandang Anak Kecil

By | 2 comments
Hari ini entah mengapa rasanya saya mendadak muales banget buat pergi-pergi. Tapi, da saya udah ada janji jauh-jauh hari. Jadinya teh saya pergi juga. Ehh, pas pergi nggak biasanya saya ditilang sama polisi.

Sesampainya di TKP a.k.a di bioskop BTC XXI hal yang pertama-tama saya lakukan adalah SMS teman. Saya kira yang bersangkutan sudah di tempat karena waktunya memang agak mepet. Jam 16.24, sedangkan film dimulai jam 16.35.

Karena tidak dibalas, akhirnya saya gregetan buat nelpon. Sempet nelpon yang bersangkutan, tapi suaranya nggak begitu jelas. Dan ketika saya hendak mencari film yang ingin ditonton ternyata filmnya udah nggak ada.

Tak lama kemudian, teman SMS dengan beribu kata maaf katanya nggak bisa. Ok. Untung dia SMS, karena saya sempat salah dengar pesenin tiketnya. Karena sudah di TKP dan kalau pulang lagi… Ah, saya lelah… Akhirnya saya liat deh yang available.

Sumber: Youtube

The Little Prince.

Yak! Dulu saya pernah liat trailer-nya dan pengen nonton. Pernah nunjukin sama Mama dan sama sekali nggak tertarik, alasannya simpel: gak lucu. Iya deh iya, da saya mah apa atuh tontonan aja isinya seriusan mulu.


Nggak disangka akhirnya nonton juga padahal di luar rencana.

Dulu juga kalau nggak salah pernah baca bukunya, cuma nggak begitu ngeh karena isinya banyak kiasan dan perumpamaan. Setelah melihat film ini saya pikir film ini adalah sekuel dari buku The Little Prince itu sendiri. Bagi yang belum membaca bukunya masih tetap bisa menikmati film ini kok.
What essential is always invisible to the eye.
Bercerita tentang anak perempuan dengan tuntutan hidup yang berat. Sebuah cerminan anak-anak zaman sekarang yang tuntutan hidupnya memang berat-berat euy. Nah, anak gadis ini dibesarkan oleh Ibunya (yang diduga seorang single parent).

Awalnya anak ini persis pisan kayak Ibunya. Kayak kloning gitu. Tindak tanduk anak ini sesuai dengan Ibunya dan pikirannya sepertinya memang sudah diprogram sesuai dengan keinginan dan harapan Ibunya. 

Dan udah diatur. 

Dari lahir sampai seumur hidup, literary.

Kehidupan si anak berubah semenjak ia bertemu dengan tetangga sebelah yang eksotis eh eksentrik. Yang awal ketemu aja udah bikin bad impression. Well, gimana nggak? Ngancurin rumah gituh.

Setelah dilaporin ke polisi dan “berdamai” dengan sekeler recehan, suatu hari orang nyentrik ini ngirim kapal-kapalan kertas ke ruangan si anak yang sedang belajar. 

Awalnya si anak nggak minat, sebel banget dan ngebuang kertas itu ke tong sampah, tapi akhirnya dilirik juga setelah ngebuka keler recehan yang bukan sekedar keler.  

Dan disitulah cerita dimulai. Bermula dari rasa ingin tahu, dimulailah kisah persahabatan nggak biasa yang terjalin lewat cerita. Sebuah kisah dengan harga yang harus dibayar dan suatu pertemuan yang mengubah hidup si anak.

Daripada spoiler mending nonton sendiri huehuehue
I’m not so sure I want to grow up anymore…
Meskipun film ini memang ditujukan untuk anak-anak tapi isi pesannya begitu dalam. Saya sendiri lebih prefer film anak-anak atau cerita anak-anak karena dibalik kesederhanaan yang ditampilkan, pesannya sangat kuat.

Banyak lho anak-anak sekarang yang nggak sempet menikmati masa kecilnya karena tuntutan zaman. Orang tua mereka sebenarnya nggak jahat, cuma mereka hanya ingin yang terbaik untuk anak-anaknya. Seandainya mereka tau kalau realita itu tidak seindah dunia dongeng dan itu adalah alasan kenapa.
Growing up is not the problem, forgetting is…
Rasanya beruntung untuk anak-anak generasi 90-an yang masih bisa ngerasain asiknya main bareng sama temen. Mulai dari petak umpet, main bola, main kelereng dan permainan lainnya yang ada kontak fisik. Kalau sekarang mah, serba gadget (meski nggak semua sih).

Bukan berarti jelek sih, karena tiap zaman pasti ada plus sama minusnya. Kalau dulu mah main-main teh asa aman, kalau sekarang entah malah banyak para pedo merajalela, jadi sieun kalau punya anak suatu saat nanti.

Entah, mungkin hari ini memang bukan kebetulan saya dipertemukan dengan The Little Prince. Yang jelas saya bersyukur karena bisa nonton The Little Prince.

Apa yang saya dapatkan dari film:
  • Persepsi anak kecil dan orang dewasa itu jelas beda banget. Bagi anak kecil mungkin pemikiran orang dewasa itu terkesan aneh, begitu pula bagi orang dewasa yang melihat pemikiran anak kecil.
  • Lalu, apa yang baik menurut orang dewasa belum tentu baik bagi anak. Sebenarnya bisa dan sangat-sangat mungkin, hanya saja lebih ke penyampaiannya saja. Dulu, seandainya saya ngeh pesan orang tua mungkin bakal lain cerita hidup saya. Jiah, curcol.
  • Semua orang dewasa dulunya adalah anak kecil, tapi nggak semua bisa mengingat masa kecil mereka. Ketika kita masih kecil, kadang daun bisa jadi beragam hal. Ketika dewasa, daun ya daun. Tuntutan hidup dan pengalaman membuat mereka berubah.

Kalau menurut saya film ini ditujukan untuk:
  • Buat yang seneng The Little Prince. Lha, iya khan? Film ini diadaptasi dari bukunya. Ya, bisi we penasaran buat comparison, buat liat apa yang beda dan motif-motif lain.
  • Buat yang seneng hiburan sambil belajar, buat yang seneng cari makna terselubung di balik film. Ada banyak kiasan, perumpamaan yang diperoleh di film ini untuk kembali direnungkan dan mengoreksi diri.
  • Seneng kisah persahabatan yang nggak biasa.
  • Dan buat yang seneng film animasi.

Pantasnya ditonton dengan rating: Bimbingan Orang tua. Meskipun ini film anak-anak dan terkesan semua umur tapi ada tingkah laku yang kurang sesuai dan tidak patut dicontoh. Dicontohkan sih apa yang nggak boleh dicontoh.

Dan untuk apa yang saya pelajari hari ini adalah:
  • Kadang apa yang dicari ketika tidak dicari suka ketemu sendiri.
  • Ada berkah disetiap musibah. Ada hal baik dibalik hal yang dianggap buruk. Semua kembali pada persepsi. Saya sih bersyukur, karena nggak jadi, saya akhirnya bisa nonton The Little Prince yang saya ingin tonton sejak kapan.

P.S:

Postingan ini masuk exceptional case, karena:
1. Saya udah nulis buat latihan. Yay.
2. Saya kangen nulis bahasa Indonesia (ah, alesan aja. Bilang we susah nulisnya wkwk). Yee, nulis pakai bahasa sehari-hari lebih leluasa ekspresinya tau. Saia khan belum mastah. Wahaha, emang dasar jiwa rebel.
Newer Post Older Post Home

2 comments:

  1. The Little Prince itu cerita anak-anak buat orang dewasa, Har. Jadi menurut saya ketimbang sekuel itu lebih ke cerita tersendiri yang melibatkan beberapa bagian cerita yang ada di The Little Prince. Ngikutin perkembangan zaman juga khan :) ?

    Isinya tetap bagus, sarat akan makna tergantung gimana kita interpretasinya, meskipun jujur ada beberapa bagian cerita yang dipaksakan. Well, terkadang apa yang disampaikan itu nggak cukup dalam satu film :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hmm, bisa, bisa. Kalau yang ditulis ini memang apa yang ada di kepala waktu itu, Bang Chris.

      Delete